Pandangan Tiga Narasumber Diskusi
Dalam diskusi dipandu Zulfikar Syarif (mantan Sekretaris AJI Lhokseumawe), Sosiolog Unimal Nirzalin menyampaikan bahwa paling penting adalah ketika pemberitaan dari media massa bersifat independen dan objektif, masyarakat atau publik akan bisa saling sharing perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka. Oleh karena itu, dalam kontestasi politik tahun 2024, konteks ini paling penting, karena ketika independensi media itu tidak terjaga dengan baik dan sudah hilang menjadi memihak kepada kekuasaan dan ekonomi di belakangannya, maka pasti media akan melakukan proses-proses pemberitaan yang tidak objektif.
"Pemberitaan yang tidak objektif terkait dengan visi-misi dan juga kompetensi si calon pada panggung politik Pemilu 2024, ini akan berdampak kepada pilihan politik yang juga tidak tepat, maka akan menghasilkan kepemimpinan politik yang tidak tepat pula. Ini menjadi perkara besar ketika kita berhadapan dengan eksisting Indonesia yang pada 2035 memiliki bonus demografi, dan 2045 berharap menjadi negara maju. Artinya, Pemilu 2024 menjadi pertaruhan bagi Indonesia untuk bisa menjadi negara maju atau tidak pada 2045, karena pada 2024 sampai 2029 adalah rintisan jalan menuju ke sana," kata Nirzalin.
Menurut Nirzalin, tentunya ini sesuatu hal paling signifikan yang dijaga dan diperjuangkan supaya pers dapat memberikan pemberitaan objektif agar masyarakat bisa memilih pemimpin yang tepat. Tidak hanya pada orangnya, juga terhadap visi atau komitmen dan kinerjanya yang nantinya sebagaimana diharapkan bersama. "Saya kira proses ini menjadi sesuatu yang tidak bisa tidak. Dan, idealis pers harus selalu dikedepankan sehingga pemberitaannya penuh dengan etika dan objektivitas,” ujarnya.
“Lalu, bagaimana dengan Aceh sekarang, apakah pemberitaan persnya sudah independen? Saya kira kita di Aceh itu terbelah, ada media yang berusaha untuk menjalankan idealismenya sehingga pemberitaannya berbasis pada fakta, apa yang disampaikan merupakan suatu data yang tidak dapat dibantah. Tetapi, ada juga sebagian pemberitaan pers kita yang masih memihak kepada kepentingan-kepentingan yang ada di belakangnya. Ini kemudian membuat masyarakat sulit untuk bertindak yang objektif," ungkap Nirzalin.
Menurut Nirzalin, ada teori menyebutkan dan menjadi sesuatu yang booming di tingkat internasional bahwa “kebohongan yang disampaikan terus-menerus akan dianggap sebagai kebenaran”. “Jadi, orang ketika terus-menerus dijejali dengan pemberitaan yang tidak objektif, bohong atau tidak sesuai dengan fakta, tapi karena disampaikan terus akan dianggap itu yang benar. Sehingga kemudian sama juga ketika orang yang tidak benar disampaikan sebagai orang yang jujur oleh pers secara terus-menerus akan dianggap sebagai orang yang baik, dan orang akan memilih yang tidak baik karena dianggap baik. Ini problemnya, maka independensi pers harus tetap terjaga sampai kapanpun karena dia adalah pengawal demokrasi,” tegasnya.
Merespons sejumlah pertanyaan peserta diskusi, Nirzalin mengatakan, “Tidak ada persoalan dengan konglomerasi media, tidak ada persoalan dengan iklan. Yang jadi persoalan adalah bagaimana konglomerasi media dan iklan itu kemudian mengontrol pemberitaan pers menggiring opini publik, sehingga objektivitas menjadi kabur dan tidak jelas dan tersampaikan terus-menerus kepada publik, akhirnya ini menjadi suatu hal yang dianggap benar dan ini yang menjadi masalah. Soal media menerima iklan sangat boleh dan tidak ada masalah, itu persoalan bisnis".
Dosen Ilmu Politik Fisipol Unimal Tgk. M. Rizwan Haji Ali mengatakan isu independensi media itu muncul menjelang Pemilu, karena ada tiga sebab. Pertama, ada kecenderungan bahwa media massa mempresentasikan berita-berita dari sebuah pikiran politik yang didukung oleh pemilik media ataupun wartawan yang ada di media itu. Ketika pemilik media atau wartawan memiliki afiliasi politik maka presentasi pemberitaan terutama pada media-media yang secara jelas memiliki afiliasi politiknya karena pemiliknya memiliki partai politik, pemiliknya memiliki kendaraan politik ataupun dalam konteks Pemilu dia memiliki dukungan politik, maka pasti pemberitaan media tersebut akan menggambarkan dan merepresentasikan kondisi politik yang didukung pikiran-pikiran politik itu.
"Oleh karena itu, banyak orang berteriak, orang-orang yang mungkin berada di luar kepemilikan media itu menuntut objektivitas, netralitas, dan independensi pers. Karena mereka tidak punya senjata itu, karena media dapat dijadikan sebagai senjata politik,” ujar Tgk. Rizwan.
Kedua, kata Tgk. Rizwan, media punya kemampuan membentuk agenda publik, sehingga apa yang dipresentasikan oleh media yang pada awalnya merupakan pikiran segmented dari satu pikiran politik, dari satu garis politik, dari satu bagian perjuangan politik kelompok, ketika disampaikan secara terus-menerus maka dia menjadi agenda publik. “Dan, ketika publik sudah menjadikan itu sebagai agenda maka diharapkan itu akan terjadi penerjemahan dari agenda itu kepada dukungan elektoral dalam bentuk voting pada saat Pemilu," ucap Tgk. Rizwan.
Ketiga, kata Tgk. Rizwan, kenapa penting menjelang tahun politik orang bicara independensi pers, karena dalam pandangan kritis, media yang dianggap sebagai medan pertarungan ideologis dari berbagai kekuatan ideologis yang ada di dalam kekuatan dan tubuh politik. "Padahal kalau kita lihat jurnalisme itu punya ideologi sendiri, punya idealisme di dalam jurnalisme. Ideologi jurnalisme adalah menyampaikan pemberitaan untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat," tuturnya.
"Di dalam kondisi hari ini, bicara itu semakin rumit dan susah. Berbicara independensi media di tengah konglomerasi kepemilikan media, itu seperti kita bercita-cita menjernihkan atau menawarkan air laut yang asin. Kita sudah diskusi di mana-mana bahkan dunia pun itu tidak percaya bahwa independensi media itu bisa jadi kenyataan terutama di dalam alam politik. Bahkan media-media besar yang kita jadikan patron memiliki afiliasi politik, media-media mainstream (arus utama) yang kita jadikan sebagai guru dalam jurnalisme, di mana kita diajarkan tentang idealisme, mereka punya afiliasi politik, mereka punya jaringan politik sendiri, mereka punya dukungan dalam pencalonan presiden, mereka punya partai yang mereka dukung. Tetapi, kita diajarkan di kelas-kelas jurnalisme tentang idealisme yang pada kenyataannya susah kita temukan,” ujar Tgk. Rizwan.
“Jadi, bicara independensi media itu adalah sebuah cita-cita, bukan sebuah fakta. Kenapa, karena memang itu terus yang kita bicarakan. Karena independensi media itukan bagaimana bisa menyampaikan berita itu sesuai dengan ideologi jurnalisme. Dan, ideologi jurnalisme menyatakan pemberitaan harus objektif, harus netral dan tidak boleh memasukkan opini personal dalam pemberitaan, fakta disampaikan sebagaimana adanya, penggunaan bahasa tidak boleh didramatisasi, tidak boleh membangun sensasionalisasi pemberitaan, tidak boleh memvisualisasikan hal-hal yang sebenarnya tidak mencerdaskan publik,” tambah Tgk. Rizwan.
Namun, kata Tgk. Rizwan, yang terjadi adalah justru itu yang kita lihat. “Kenapa, karena itu disukai oleh politik. Misalnya, politisi itu baru peduli pada masalah publik kalau masalah publik tersebut memiliki nilai politik. Kalau jalan yang rusak atau irigasi yang rusak itu tidak menimbulkan resonansi politik, maka politik mungkin tidak akan masuk ke sana. Tetapi, begitu terdapat resonansi politik, terdapat popular full dan ada dukungan politik apabila kita menggarap isu itu, maka politik akan manggung di sana, karena ada resonansi yang besar serta bisa menarik dukungan masyarakat terhadap tokoh tersebut," ujar Tgk. Rizwan.
Sementara itu, Ayi Jufridar mengatakan, meskipun dalam suasana kontestasi politik, media massa harus tetap independen dalam menghasilkan karya jurnalistik atau pemberitaan. “Publik silakan menilai berita-berita yang disajikan media itu mana yang punya nilai independensi dan netralitas,” ucapnya.
"Media itu tidak boleh menyediakan space kepada salah satu partai dengan durasi yang sangat panjang saat momentum kampanye Pemilu. Karena aturannya tidak boleh memboking waktu (durasi) sesuka hati dari pihak kepentingan politik di media massa,” ujar Ayi.
Menurut Ayi, selama ini terjadi situasi yang kontradiksi, satu sisi media massa harus mengusung nilai-nilai ideologis, di sisi yang lain “harus berdamai dengan kepentingan ekonomis". Sehingga ketika berhadapan antara kepentingan berita atau ideologis dengan kepentingan iklan, berpotensi kalah kepentingan berita.
“Jadi, sebenarnya ada nilai ideal yang harus dicapai, tapi ada nilai rasional yang berhadapan dengan kepentingan media. Apabila media massa tidak bisa lagi mengusung nilai-nilai ideologisnya, maka dia akan kalah dengan media sosial,” ungkapnya.
"Terkadang publik lebih percaya kepada berita yang beredar di media sosial yang belum terverifikasi kebenarannya, tidak lagi mengkonsumsi berita atau informasi melalui media mainstream. Sehingga sekarang media tidak lagi bersaing sesama media massa, tetapi bersaing dengan medsos,” tambahnya.
Menurut Ayi, paling penting jurnalis atau wartawan harus selalu menjaga etika, keberimbangan, dan akurasi data atau informasi yang disajikan.
Editor : Armia Jamil