Ketiga, bengkaknya APBN negara – negara importir minyak termasuk Indonesia, dari tahun ke tahun subsidi energi Indonesia semakin meningkat drastis karena hal ini terkecuali pada tahun 2020 yang lalu karena Indonesia mengalami bencana nasional yaitu pandemi Covid-19. Bersumber dari LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat), di tahun 2019 subsidi energi di angka Rp. 136,88 T, di tahun 2020 subsidi energi mengalami penururan dengan angka Rp. 108,8 T atau berkurang senilai Rp. 28,08 T (20,5%).
Kemudian subsidi energi tahun 2021 mengalami sebesar Rp. 140,41 T atau naik sebesar Rp. 31.61 T (29%) dan di tahun 2022 ini meningkat sangat tidak terduga di angka Rp. 502,4 T atau naik sebesar Rp. 361,99 T (meningkat 257,8% dari tahun sebelumnya. Tentunya dari data – data tersebut membuat hutang Indonesia semakin membesar tiap tahunnya. Keempat, Indonesian Crude Price (ICP) semakin meningkat tiap semesternya.
Dengan dimulai dari Februari 2021 ICP sebesar US$ 60,36/barel, di tahun yang sama pada bulan September 2021 naik menjadi US$ 72,20/barel, Februari 2022 disambut lagi dengan kabar duka ICP naik menjadi US$ 95,72/barel dan Juni 2022 naik lagi menjadi US$ 117,62/barel. Kelima, produksi minyak bumi per hari Indonesia kurun 6 tahun terakhir selalu merosot.
Pada tahun 2017 produksi minyak bumi Indonesia hanya di angka 801 MBOPD, di tahun 2018 menurun menjadi 771 MBOPD, di tahun 2019 menurun lagi menjadi 746 MBOPD, di tahun 2020 menurun lagi menjadi 706 MBOPD, di tahun 2021 kembali turun menjadi 660 MBOPD dan berdasarkan dataharian.esdm.go.id per 7 September 2022 hanya 602 MBOPD sedangkan konsumsi semakin tahun semakin meningkat yang sampai pada hari ini mencapai 1,4 Juta BOPD. Hal ini semakin membuat Indonesia harus mengimpor banyak minyak mentah dan hanya angan – angan semata untuk mimpi produksi nasional 1 Juta BOPD yang dibuat oleh SKK Migas.
Editor : Armia Jamil
Artikel Terkait