LHOKSEUMAWE, iNews.id - Di masa tenang sampai pemungutan dan penghitungan suara, media massa diharapkan tidak menanyakan iklan kampanye serta ikut mengawasi proses untuk mengantisipasi setiap potensi kecurangan. Wartawan juga diharapkan mewaspadai politik uang yang menghantui pemilih menjelang pemungutan suara.
Pada sisi lain, Bawaslu dan jajarannya tidak mungkin mengawasi setiap lini termasuk kampanye terselubung di berbagai platform media sosial. Di masa tenang dan diduga sampai pemungutan suara nanti, akun media sosial digunakan untuk menyerang lawan politik.
Demikian antara lain pandangan yang mengemuka dalam Publikasi dan Dokumentasi Pengawasan Masa Tenang dan Pemungutan serta Penghitungan Suara Pemilu 2024 yang digelar Panwaslih Kota Lhokseumawe, Selasa (13/2/2024).
Sejumlah wartawan yang hadir dalam pertemuan tersebut, mengungkapkan sejumlah potensi yang akan terjadi di masa pemungutan dan penghitungan suara serta rekapitulasi suara. “Terutama adanya potensi politik uang menjelang pemungutan suara,” ungkap Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lhokseumawe, Irmansyah, yang menjadi salah satu narasumber.
Menurutnya, kasus politik uang pernah terjadi di Lhokseumawe yang menjerat seorang ibu rumah tangga. Istilah “serangan fajar” yang sering disebut masyarakat merupakan bagian dari politik uang, di mana peserta pemilu atau tim kampanye memberikan sejumlah uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih.
Narasumber lainnya, Jafaruddin, menyebutkan masih banyak dugaan kecurangan pemilu yang belum diangkat awak media massa. Dia menyinggung arahan dari kepala sekolah terhadap guru yang belum diungkap media massa secara tuntas. “Pola pemberitaan masih bersifat normatif dan hanya mengangkat agenda penyelenggara serta peserta pemilu,” ujar Jafaruddin dalam diskusi yang dipandu anggota Panwaslih Lhokseumawe, Ayi Jufridar.
Jafaruddin juga mencemaskan rendahnya daya kritis masyarakat terhadap akurasi berita media massa saat ini. Ketika keliru menulis, masyarakat cenderung acuh tak acuh. “Dulu, saya keliru menulis plat motor saja, pembaca datang ke kantor untuk memprotes,” katanya. Sementara Masriadi Sambo mengkritisi regulasi di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pemilu yang membatasi penyiaran iklan hanya 10 slot per hari dengan durasi 30 dan 60 detik. “Ini terlalu menyamaratakan media massa di pusat dan daerah. Media besar dan media kecil diperlakukan secara sama,” ungkap Masriadi yang juga pengajar jurnalistik di Universitas Malikussaleh.
Ayi Jufridar mengharapkan media massa ikut memperkuat pengawasan partisipatif dalam sisa tahapan krusial Pemilu 2024. Jurnalis yang berada di lapangan, menurutnya, bisa bersinergi dengan Panwaslih sesuai porsi masing-masing. “Terutama dalam proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS, sampai rekapitulasi suara di kecamatan. Media massa bisa ikut menjaga kesucian pilihan rakyat agar tidak dimanipulasi,” ujarnya.[]
Editor : Armia Jamil
Artikel Terkait